Su-35 Indonesia, Ambil atau Tinggalkan

Rencana pembelian jet tempur Su-35 oleh Indonesia mati suri. Maju tidak mundur juga tidak. Hal ini membuat Kementerian Perdagangan juga tidak bisa menjalankan kesepakatan imbal dagang sebagai bagian dari sistem pembelian 11 jet tempur buatan Rusia tersebut.

Kementerian Perdagangan menyebutkan realisasi pembelian pesawat tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia dengan skema imbal beli yang ditawarkan Indonesia belum memperlihatkan kemajuan berarti sampai saat ini.

Padahal nota kesepahaman barter sebenarnya telah ditandatangani antara Indonesia dan Rusia sejak 2017. Koordinator Bidang Peningkatan Akses Pasar Kemendag Bambang Jaka pada 29 Juli 2021 lalu mengatakan saat ini sudah tiga tahun kesepakatan itu diambil dan posisi Indonesia harus ada kepastian lanjut atau tidak.

Bambang menjelaskan bahwa seluruh instrumen terkait proses imbal beli sudah siap. Kementerian Perdagangan juga telah memetakan ulang perusahaan-perusahaan RI yang akan memasok produk-produk yang ditawarkan dalam skema barter.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Perdagangan pada 2019 melaporkan bahwa terdapat 16 komoditas yang diajukan sebagai komoditas barter dengan Rusia. Produk tersebut mencakup minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya kemudian karet, biskuit, dan kopi.

Dalam kerja sama perdagangan tersebut, Rusia diwajibkan untuk membeli komoditas asal Indonesia sebesar 50 persen dari nilai pembelian Sukhoi. Total nilai pembelian untuk 11 unit pesawat tersebut mencapai US$1,14 miliar. Sementara kontribusi dari imbal beli mencapai US$570 juta.

Poinnya adalah masih berproses. Tinggal bagaimana pimpinan-pimpinan di Republik ini berani mengambil keputusan. “Bukan mengambil risiko dalam konteks gambling, tetapi memutuskan take it or leave it untuk Sukhoi,” kata Bambang.

Kementerian Pertahanan sebelumnya menyebutkan kontrak pembelian telah bisa efektif sejak Agustus 2018. Namun dengan berlanjutnya pembahasan mengenai komoditas untuk imbal beli, terjadi keterlambatan pada kedatangan dua unit pesawat yang seharusnya dilakukan pada 2019.

Apabila transaksi kedua negara berjalan lancar pesawat tempur dengan spesifikasi persenjataan lengkap atau full combat akan datang secara bertahap, Batch pertama terdiri dari dua pesawat, batch kedua empat pesawat dan batch ketiga lima pesawat.

Rencana pembelian Su-35 oleh Indonesia memang bisa dikatakan sangat ruwet. Keputusan yang diambil pada 2015 tersebut tidak terealisasi hingga 2021 atau sekitar enam tahun setelah keputusan diambil. Pada Februari 2018 kedua negara juga telah sepakat untuk melakukan jaul beli dengan sistem imbal dagang, tetapi rencana itupun tidak jalan.

Bloomberg mengutip pejabat Indonesia yang mengetahui masalah tersebut mengatakan masalah terberat yang dihadapi Indonesia adalah sanksi dari Amerika jika membeli pesawat tersebut. Pemerintahan Presiden Joko Widodo khawatir Amerika akan mengambil tindakan hukuman terhadap perdagangan jika itu berlanjut dengan kesepakatan Rusia.

Sejak ketidakpastian pembelian Su-35 Indonesia mencoba mencari sejumlah jet tempur lain. Sempat meminta diizinkan membeli F-35 dari Amerika tetapi tidak diperbolehkan dan ditawari F-16 Viper. Amerika kemudian juga disebut mengizinkan Indonesia membeli F-15EX.

Kabar lain adalah Indonesia mengincar Eurofigter Typhoon bekas Austria. Terakhir, Indonesia pada 7 Juni 2021 dikabarkan telah menandatangani Letter of intent terkait rencana pembelian 36 jet tempur Rafale. Tetapi belum ada kabar apakah leter of intent tersebut telah meningkat menjadi kesakatan jual beli.

Jadi bagaimana? Ambil atau tinggal? Take it or leave it?