Habiskan Rp11 Triliun dan Belum Dipakai RQ-4E Jerman Masuk Museum

Kisah drone pengintai Euro Hawk Jerman akhirnya menemui akhir yang menyedihkan. Drone versi terencana dari Northrop Grumman RQ-4 Global Hawk di Eropa yang disebut sebagai  RQ-4E itu sedang menuju ke museum di ibu kota Jerman. Hal ini dilakukan  setelah rencana untuk menjual pesawat tersebut ke Kanada gagal. Tempat peristirahatan terakhir dari Euro Hawk adalah Museum Sejarah Militer Bundeswehr di Berlin-Gatow Airfield.

Kementerian Pertahanan Jerman menegaskan berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani pada Oktober 2019, suku cadang, peralatan servis darat, peralatan uji, dan peralatan khusus akan ditransfer ke Badan Dukungan dan Pengadaan NATO, yang mungkin akan digunakan untuk mendukung armada lima drone RQ-4D  yang juga didasarkan Global Hawk. Biaya kesepakatan itu tidak diungkapkan.

Peralatan yang tersisa, yaitu satu pesawat RQ-4E itu sendiri, ditambah stasiun pengendali darat akan dibawa ke museum paling cepat pada tahun 2022.

Menggunakan badan pesawat RQ-4E sebagai sebuah Pameran museum bukanlah yang diharapkan Kementerian Pertahanan Jerman ketika meluncurkan program yang dimaksudkan untuk menempatkan lima platform sinyal intelijen (SIGINT) canggih. Drone ini direncanakan untuk menggantikan armada kecil pesawat berawak Breguet Atlantik milik Angkatan Laut Jerman.

Pesawat yang dikonfigurasi secara khusus ini telah bertugas dalam peran sinyal dan intelijen terutama di sekitar Laut Baltik  hingga 2010. Drone tersebut akan membawa sistem SIGINT yang dikembangkan Airbus yang dikenal sebagai ISIS.

Ternyata, program Euro Hawk benar-benar menjadi bencana. Otoritas penerbangan Eropa berulang kali menolak untuk mengizinkan drone raksasa itu untuk terbang di atas benua itu karena kekhawatiran tentang risiko yang dapat ditimbulkannya terhadap lalu lintas udara sipil.

Ketakutan bahwa pesawat tak berawak dapat membahayakan lalu lintas udara sipil di wilayah udara Eropa yang padat berarti bahwa sertifikasi Badan Keamanan Penerbangan Eropa hanya diberikan untuk penerbangan di atas area yang tidak berpenduduk, dan tidak ada jaminan bahwa ini akan berubah dalam waktu dekat. Dengan pemikiran tersebut, militer Jerman tidak akan dapat mengoperasikan pesawat dari pangkalannya sendiri untuk tujuan pelatihan atau misi operasional.

Dikombinasikan dengan pembengkakan biaya yang besar dan penundaan yang lama, Berlin memutuskan untuk membatalkan program tersebut pada tahun 2013 setelah menghabiskan total US$ 793,5 juta atau sekitar Rp11,5 triliun.

Dilucuti dari semua peralatan militer dan misi, RQ-4E berakhir di gudang Pangkalan Udara Manching di Bavaria. Kemungkinan penjualan ke Kanada gagal terwujud setelah Ottawa mengajukan penawaran resmi untuk pesawat tersebut, meskipun tidak memiliki drone serupa lainnya dalam inventarisnya. Dilaporkan bahwa Kanada bisa saja mengembalikan drone ke kelaikan udara dan menggunakannya untuk memantau tumpahan minyak, permukaan es, dan habitat laut di wilayah Arktik yang semakin diperebutkan. Sebenarnya mengapa kesepakatan ini gagal masih belum jelas, tetapi kemungkinan drone tersebut kekurangan komponen penting, termasuk sistem navigasi dan kontrol penerbangannya yang membuatnya tidak dapat terbang tanpa penambahan biaya yang besar.

Kini Angkatan Bersenjata Jerman,  menggantungkan harapan mereka pada platform intelijen yang benar-benar baru dengan mengejar program Persistent German Airborne Surveillance System atau Pegasus.

Menteri pertahanan, Ursula von der Leyen awalnya menginginkan platform tak berawak lain berdasarkan drone MQ-4C Triton milik Angkatan Laut Amerika yang juga turunan Global Hawk dan dapat memasuki layanan setelah 2025. Tidak seperti RQ-4E, MQ- 4C dikembangkan sejak awal untuk sertifikasi sipil.

Rencana tersebut berubah tahun lalu ketika kementerian pertahanan justru memilih solusi berawak, Pegasus yang didasarkan pada bizjet Global 6000.  Awalnya Jerman berharap mendapatkan RQ-4E pertama di bawah program Euro Hawk pada tahun 2012. Sekarang, tampaknya mereka harus menunggu lebih lama untuk penggantinya.