Dekompresi (1): Ketika Udara Dalam dan Luar Pesawat Terhubung

Berkali-kali kita mendengar soal penumpang yang berusaha membuka pintu pesawat saat masih terbang di langit. Awak kabin biasanya akan melakukan apa saja untuk menahan aksi semacam itu. Secara otomatis, penumpang lain, yang lebih waras akan membantu awak kabin. Soalnya jika pintu itu berhasil dibuka, semua bisa saja mati. Jadi, kalau ada ancaman nyawa untuk semua, tentu siapapun bersedia turun tangan.

Biasanya, yang berulang semacam ini adalah penumpang mabuk. Mereka beraksi tanpa sadar karena pengaruh minuman keras. Maskapai-maskapai di Eropa sudah jengah dan bahkan minta ada pembatasan konsumsi minuman beralkohol sebelum terbang. Caranya, dengan tidak atau mengurangi penjualan minuman keras di area bebas pajak bandara.

Tapi, apa sih sebenarnya yang terjadi jika pintu pesawat terbuka, atau dalam kasus lain, ada lubang sehingga udara di dalam pesawat berhubungan langsung dengan udara di luar?

Jika seseorang berhasil membuka pintu pesawat di ketinggian, kabin akan kehilangan tekanan dengan sangat cepat  dan kekacauan akan terjadi. Kejadian ini disebuta sebagai dekompresi.

Ada banyak contoh kasus dekompresi. Pertama adalah dekompresi perlahan. Pada 2005 sebuah Boeing 737 yang dioperasikan oleh Helios Airways jatuh, mengakibatkan semua 121 penumpang dan awak kapal meninggal dunia. Ini adalah bencana udara paling mematikan dalam sejarah Yunani. Pesawat diketahui telah mengalami kehilangan tekanan kabin secara bertahap. Kejadiannya pelan-pelan bahkan sampai penumpang dan pilot tidak menyadara. Sementara kurangnya oksigen pada ketinggian 30.000 kaki itu membuat kru tidak mampu mengendalikan pesawat yang ada dalam posisi auto pilot. Pesawat terus terbang tanpa ada kendali, bahan bakarnya perlahan habis dan kemudian pesawat jatuh.

Dalam kasus seperti itu, jika semua innstrumen bekerja dengan baik, maka masker oksigen akan turun dari posisinya dan jatuh tepat di depan penumpang. Masker ini punya cukup oksigen dan harus dipakai untuk mencegah hipoksia. Hipoksia adalah kekurangan oksigen yang menyebabkan melambannya reaksi otak, penglihatan redup, ketidaksadaran dan kemudian kematian. Di kokpit, pilot yang sudah mengenakan masker karet mereka akan membawa pesawat turun dengan cepat ke ketinggian yang aman, yaitu di bawah 10.000 kaki. Penurunan ini akan tetap dilakukan meskipun penerbangan sedang berasa di kawasan pegunungan.

Kedua, adalah dekompresi mendadak. Peristiwa ini akan terjadi jika pintu pesawat tiba-tiba terbuka. Siapa pun yang ada di dekat pintu keluar dan tidak terikat ke kursi akan terlempar ke luar. Suhu kabin akan cepat turun ke tingkat dimana manusia akan sangat kedinginan. Dalam beberapa saat, pesawat itu bahkan mungkin akan meledak.

Foto di atas adalah peristiwa pada 1988, sebuah penerbangan Aloha Airlines  dengan Boeing 737 berpenumpang 90 orang sedang dalam perjalanan ke Honolulu. Pesawat ini terbang di ketinggian 24.000 kaki, ketika sebuah bagian kecil dari atap pecah. Ledakan kemudian terjadi dan merobek bagian atap menghaslkan lubang besar, dan seorang pramugari berusia 57 tahun bernama Clarabelle Lansing tersapu dari tempat duduknya dan terlempar keluar dari lubang di pesawat terbang. Untungnya, semua penumpang lainnya terikat di sabuk pengaman dan pilot berhasil mendarat 13 menit kemudian, menghindari hilangnya nyawa lebih banyak. Ada banyak contoh dekompresi eksplosif lainnya telah terjadi dan seringkali berakhir dengan tidak baik. Dalam kasus Japan Airlines Flight 123, dekompresi semacam ini terjadi disebabkan oleh proses perawatan yang salah. Pesawat Boeing 747 menabrak Gunung di Gunma dengan korban mencapai 520 nyawa. Ini menjadi kecelakaan pesawat tunggal yang paling mematikan dalam sejarah.